Bak Ayam Baranak Itiak

“Bak ayam baranak itiak”, sebuah pepatah yang berasal dari daerah Minang. “Minang” atau “Minangkabau” atau “Ranah Minang” adalah nama lain dari Sumatera Barat, tanah kelahiran saya.

“Bak ayam baranak itiak”, artinya adalah “Bagaikan ayam beranak itik”. Kita tahu, itik tak bisa mengerami telurnya, sehingga orang seringkali meminta bantuan ayam untuk mengeraminya. Namun, tahukah kamu ada kisah sedih dibalik kebiasaan tersebut?

Lihatlah! Ketika ayam mengerami telur itik, ia mengeraminya dengan penuh kasih sayang. Meski capek, ayam tak pernah berhenti dan menyerah, sampai telur itik menetas. Setelah menetas, meski berbeda dengan dirinya dan anak-anaknya yang lain, ayam tak pernah membeda-bedakannya. Itik tetap mendapat kasih sayang yang sama. Sedari kecil, ayam selalu melindungi itik dari serangan musuh. Ayam memberinya kehangatan ditengah dinginnya malam. Ayam juga yang mengajarinya mematuk makanan. Namun, saat sampai di pinggir kolam, anak itik terjun ke air, berenang kian kemari. Sementara, induk ayam mamanggilnya berkotek-kotek, berlarian sekeliling kolam sambil terus memanggil. Tapi, itik tak menghiraukannya. Itik terus saja berenang, menikmati kesenangan itu sendiri. Sungguh, kasian si induk ayam. Dilupakan begitu saja.

Sebuah kisah (kisah nyata orang terdekat saya), sebut saja namanya Ningsih. Ningsih adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Kakaknya laki-laki, Toni namanya. Mungkin karena anak pertama, Toni sangat disayang oleh kedua orang tuanya, sehingga Toni disekolahkan sampai Sarjana. Berbanding terbalik dengan kakaknya, Ningsih justru diperlakukan tidak adil. Entah apa sebabnya, orang tuanya seolah tak menyayanginya sama sekali. Sedari kecil, Ningsih selalu disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah, dengan alasan Ningsih anak perempuan tertua.

Pagi-pagi sekali, Ningsih sudah disuruh menumbuk beras untuk dijadikan tepung, dengan alat tradisional (kalau di Minang namanya lasuang [lesung]). Setelah itu, Ningsih disuruh mencari kayu bakar untuk memasak. Lalu, mengambil air di sumur yang jaraknya lumayan jauh. Setelah semua pekerjaan selesai, Ningsih baru diperbolehkan pergi ke sekolah. Karena takut telat, seringkali Ningsih tak menyisir rambutnya sebelum berangkat ke sekolah. Tapi, sesampainya di sekolah ia pun tetap telat. Akibatnya, tangan Ningsih selalu kena pukul oleh gurunya. Setiap hari Ningsih menjalani hidupnya seperti itu. Ningsih kecil tidak kuat lagi terus-menerus kena pukul. Sehingga, ia hanya mampu bertahan dua tahun saja. Ya, Ningsih hanya menempuh pendidikan sampai kelas dua SD saja.

Hari-hari selanjutnya, Ningsih habiskan dengan bekerja. Ia yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya hanya bertugas memasak dan mengurus adik-adiknya. Sementara ayahnya bekerja menggarap sawah orang lain, hasilnya hanya cukup untuk membeli beras. Hal ini membuat Ningsih harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mulai dari lauk-pauk, alat-alat mandi, uang jajan adik-adiknya, sampai pakaian untuk keluarganya. Ningsih bekerja apa saja. Mulai dari menanam padi, menyiangi padi, mencari hasil kebun lalu menjualnya di pasar, dll. Padahal ia masih terlalu kecil untuk memikul beban seberat itu.

Singkat cerita, Ningsih telah berhasil menghidupi keluarganya. Adik-adiknya tak ada yang seperti dia, mereka semua bisa sekolah tinggi, minimal sampai SMP. Kecuali, adik laki-lakinya yang terkenal nakal. Ia berhenti sekolah karena malas.

Kini, mereka semua telah berkeluarga. Ningsih telah tumbuh menjadi wanita yang agak bodoh. Entah apa yang menyebabkan Ningsih sampai begitu. Yang jelas, daya tangkapnya sangat kurang. Kadang kita harus menjelaskan berulang-ulang agar ia paham. Orang Minang terkenal bijak, sehingga mereka sering menggunakan kiasan dalam berbicara, Ningsih seringkali tidak paham maksud kiasan-kiasan tersebut. Sehingga ia sering dicemoohkan oleh adik-adik, kerabat, dan suaminya. Hidup Ningsih juga biasa-biasa saja. Namun, yang namanya hidup, tentu banyak sekali ujiannya. Mulai dari kesulitan keuangan, anaknya menikah, saat rumahnya rubuh, anaknya meninggal, sampai ketika sawah satu-satunya diambil orang, dll. Setiap kali Ningsih kesusahan, adik-adiknya tak ada yang membantunya, bahkan menghibur pun tidak, justru mereka malah mensyukurinya. Entah dimana hati nurani adik-adiknya, tak ada satu pun yang peduli. Kecuali, mungkin si bungsu yang memang agak pendiam. Padahal adik-adiknya tahu, siapa Ningsih. Ningsih adalah “Ibu sekaligus ayah KEDUA” mereka. Mereka sadar betul, betapa besar pengorbanan Ningsih terhadap mereka. Tetapi, mereka tetap meninggalkan Ningsih disaat Ningsih membutuhkan belas kasihan mereka. Kenapa? Apakah karena Ningsih bodoh?
Orang tuanya pun sama, mereka tetap seperti dulu, tak pernah peduli pada keadaan Ningsih. Padahal Ningsih anak mereka, Ningsih juga telah banyak membantu mereka. Tapi, tetap saja itu tak membuat mereka menyayangi Ningsih seperti anak-anak mereka yang lain.

Maka, setiap kali ada orang yang merasa kasian pada Ningsih, mereka seringkali menyebut kisah Ningsih dan adik-adiknya ini seperti pepatah, “Bak ayam baranak itiak”. Maksud pepatah ini mungkin hampir sama dengan peribahasa, “Kacang lupa pada kulitnya”. Tetapi, pepatah, “Bak ayam baranak itiak” terkesan lebih menyedihkan. Maka saya pikir pepatah, “Bak ayam baranak itiak” memang lebih tepat untuk menggambarkan kisah ini.

Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati